KULIAH SATELIT, GELAR DARI LANGIT

 


Selamat datang di Nusantara tercinta, tanah di mana sawah menguning, laut membiru, dan nama-nama pejabat penuh gelar yang membuat lidah berbelit macam kabel headset kusut.

Ada yang namanya "Ir. H. Dr. Hc. (Multigelar) S. H., M. Si., MBA, MM, M.Kom, M.Pd., M.Psi., M.Kes., M.T., M.Kn., M.Fil., M.Hum., M.Ag., M.P.A., M.Sos.I., M.Sn., M.PWK., Ph.D., LL.M, DBA, CPM (Asia), Dipl. PR, CPHR, Cht, CMT, CPM (Amrik), CAC, CMLC"—dalam kartu nama panjangnya bisa dipakai buat jemuran.

Tak cukup satu, dua, atau tiga gelar, karena pejabat kita adalah makhluk multidimensi. Bisa kuliah hukum di pagi hari, ambil master manajemen siang, lanjut teknik elektro sore, dan malamnya diskusi filsafat sambil livestream TikTok. Semua gelar sah... atau setidaknya tampak sah... atau minimal tampak ada huruf kapital dan titiknya.

Karena di negeri ini, gelar adalah senjata, lencana, kadang bahkan GPS untuk naik jabatan. Yang penting ada “Dr.” atau “M.Sc.”, soal kampusnya ada atau tidak itu urusan belakangan. Dunia ini sementara, gelar abadi di batu nisan.



Universitas Abal-Abal: Kampus Antah-Berantah di Atas Google Maps

Di negeri kita yang gemah ripah loh jinawi ini, universitas bukan lagi tempat menimba ilmu—melainkan tempat menimba gelar. Tak perlu hadir, tak perlu skripsi, cukup hadirkan rekening dan niat suci untuk terlihat “pintar”.

Coba ketik nama universitasnya di Google Maps—“International Royal Global Academic of Business and Policy Studies”—lokasinya? Ternyata beralamat di ruko bekas laundry kiloan. Kampus internasional rasa kios isi ulang galon.

Mahasiswa? Hanya ada satu: printer. Dosen? Ya siapa cepat dia dapat. Rektor? Aktif sih, tapi di grup WhatsApp MLM.

Yang lucu, pejabat kita dengan gagah mengutip teori Harvard, sambil ijazahnya ternyata dari “Howard”—bukan universitas, tapi percetakan undangan pernikahan di pinggir jalan. Dan saat ditanya, “Bapak sekolah di mana?” Jawabnya tenang: “Jauh, luar negeri.” Ya, luar nalar!

Namun herannya, masih banyak yang percaya. Karena gelar di Indonesia itu seperti kecap—nomor satu semua. S1 hukum, S2 manajemen, S3 filsafat, tapi pas debat publik... pakai logika flying kick.


Pejabat Serba Bisa: Dari Tukang Tata Kota hingga Ahli Neuroteologi

Coba tengok pejabat kita, sosok yang luar biasa. Pagi rapat bahas drainase kota, siang jadi pembicara seminar “Revolusi Neuroteologi dalam Tata Kelola Pemerintahan Digital”. Malamnya? Jadi tamu podcast tentang mental health sambil bahas blockchain.

Apa ini? Pejabat? Atau hasil kawin silang antara ChatGPT, B.J. Habibie, dan Dr. Strange?

Gelar mereka membentang dari ST (Sarjana Teknik) sampai MSc dari entah mana, lalu MM, MBA, bahkan Dr. rer. nat.—padahal rer-nya cuma reruntuhan logika.

Kita curiga, jangan-jangan pejabat ini lahir bukan dari rahim ibu, tapi printer laser warna yang mencetak ijazah satu per detik. Bahkan Thanos pun tak sekuat ini, punya enam Infinity Stones saja sudah jadi raja alam semesta—lah ini? Punya enam belas gelar dan masih sempat main golf.

Dan yang paling luar biasa: waktu. Mereka punya waktu tak terbatas. Kita rakyat biasa, mau kuliah satu program saja bisa burnout. Mereka? Bisa kuliah tiga tempat sekaligus. Jarak Jakarta—London—Kairo cuma sepelemparan amplop. Kok bisa? Karena mereka bukan manusia biasa. Mereka pejabat. PejaBATMAN.


Ketika Gelar Menjadi Alat Bantu Panggung Politik

Di negeri ini, gelar bukan soal kapasitas, tapi properti panggung politik. Gelar bukan lagi lambang ilmu, tapi alat branding. Sama seperti memakai batik saat Hari Kamis, atau pura-pura merakyat saat musim pemilu.

Begitu gelar “Dr.” ditempel, tiba-tiba semua omongan jadi terasa masuk akal. Padahal isinya cuma seloroh WhatsApp grup keluarga. Asal ada "MBA", opini receh tentang inflasi bisa jadi headline. "M.Sc."? Maka bualan tentang “ekonomi syariah berbasis ketahanan spiritual dan kenegaraan digital” bisa jadi bahan RDP di DPR.

Semakin banyak gelar, semakin tebal aura “pintar”. Meski kenyataannya—rapat molor, keputusan ngawur, dan program kerja seperti fotokopi dari brosur lama yang diketik ulang.

Apalagi saat kampanye. Gelar menjadi jimat, seperti mantra.
“Bersama saya, Dr. Hc. M.Pd. M.Sc. Ph.D. MBA MM M.Si, kita bangun bangsa ini.”
Kita, rakyat, pun tersihir. Tidak peduli gelarnya dari mana, yang penting terdengar “wah”. Biar tak paham isinya, asal huruf-hurufnya banyak, pasti orangnya cerdas. Begitu katanya. Begitu kita dibodohi.

Kita hidup di zaman di mana seseorang lebih dihormati karena gelar, bukan karena karya. Lebih diundang ke TV karena S3-nya, bukan karena integritasnya. Di mana debat publik lebih percaya “gelarnya apa?” ketimbang “logikanya bagaimana?”.




Rakyat Belajar Sendiri, Pejabat/Mereka yang BerUANG Beli Gelar Sambil Liburan

Di satu sisi negeri, rakyat menabung receh demi biaya kuliah anaknya—dari hasil jualan gorengan, ojek online, jadi cleaning service. Mereka tahu: pendidikan mahal, tapi mimpi anaknya lebih mahal.

Di sisi lain, pejabat kita liburan ke luar negeri, pulang-pulang bawa koper, oleh-oleh, dan... gelar.
"Bapak dapat MBA dari mana?"
“Oh, dari Florida…”
“Wah, kampusnya di Miami?”
“Bukan, di atas toko pizza di Florida Street, Bekasi.”

Ya, gelarnya internasional, tapi mata kuliahnya lokal: Etika Pura-Pura Jujur, Manajemen Dana Serap, dan Strategi Diam Saat Ketahuan. Dan herannya: mereka bangga.

Sementara itu, rakyat yang susah payah ambil kuliah malam sambil kerja siang—harus sabar diinterview HRD, disuruh tes IQ, psikotes, bahkan disuruh gambar pohon.
Pejabat? Tinggal bawa map merah, gelar honoris causa—beres.
Kadang kita mikir, jangan-jangan mereka punya cheat code kehidupan: ketik ctrl+alt+GELAR langsung unlock semuanya.

Dan paling bikin hati panas: saat mereka pidato tentang pentingnya “kompetensi SDM”, sambil mengangkat ijazah dari universitas yang bahkan Google pun menyerah mencarinya.


“Gelar-gelar Kosong: Simbolisme Tanpa Substansi”

Kita hidup di era simbol. Di mana selembar kertas bisa lebih berkuasa daripada karakter. Di mana stempel lebih dipercaya daripada isi kepala. Maka lahirlah gelar-gelar yang lebih banyak bicara soal gengsi ketimbang isi.

Gelar akademik hari ini bagaikan label di botol air mineral. Padahal isinya? Air keran.

Pejabat bangga menyematkan "Dr." di depan namanya, padahal disertasinya cuma 80 halaman, 60 di antaranya kutipan Wikipedia. Tak pernah diuji terbuka, tak pernah dipublikasikan, tapi langsung dipublikasikan di baliho seukuran rumah.

Mereka parade gelar seperti parade kostum Halloween. Hari ini S2 kebijakan publik, besok jadi S3 filsuf ekonomi digital berkelanjutan. Tapi coba tanya: “Pak, apa perbedaan Pancasila dan pancasetting?”
Pasti jawabannya: “Tergantung konteks politik global dan budaya lokal yang berintegrasi dengan perspektif nasionalisme adaptif digital.”
Yang artinya? Omong kosong level dewa.

Tak heran, kebijakan publik kita sering ngaco. Karena dibuat bukan atas dasar ilmu, tapi atas dasar impresi. Mereka tak paham data, tapi fasih mengolah drama.

Di rapat, pakai istilah "integrasi vertikal sistemik", "diseminasi partisipatif digital", "inklusivitas fiskal adaptif"—padahal cuma mau bilang: “Anggaran belum cair.”


Pesan Rakyat: Kami Mungkin Bukan yang Bergelar, Tapi Kami Masih Bisa Berusaha

Kami ini rakyat biasa. Tak punya gelar mentereng, tak fasih bicara Latin, apalagi menyebut nama kampus asing. Tapi kami tahu cara bangun pagi, kerja jujur, dan pulang tanpa mencuri.

Kami tahu arti kesabaran, saat antre di Puskesmas dengan BPJS yang mandek. Kami tahu cara bertahan, meski harga beras naik, listrik padam, dan jalan rusak tak diperbaiki.

Kami tak menuntut pejabat sempurna. Kami hanya ingin pemimpin yang nyata—yang tak berlindung di balik gelar palsu, tapi hadir di tengah masalah. Yang tak bicara soal "smart governance" tapi gagal mengurus sampah.

Kami bukan yang paling pintar. Tapi kami tahu siapa yang pura-pura. Dan kami tahu bahwa gelar bukan jaminan, kerja nyata adalah pembuktian.

Jadi, wahai para pemilik huruf kapital di belakang nama: buktikan bahwa kalian belajar bukan hanya untuk diri sendiri, tapi untuk negeri. Jangan ajari kami soal etika kalau integritas kalian masih disekolahkan.

Karena kami rakyat—yang mungkin tak mampu segalanya, tapi selalu bisa berusaha. Dan saat rakyat mulai berani bicara, sebaiknya para pemilik gelar mulai belajar mendengar.


DISCLAIMER

Tulisan ini bukan serangan. Bukan hujatan. Ini adalah suara. Suara rakyat yang lelah menjadi penonton dalam sandiwara simbol dan gelar. Ini bukan soal iri pada mereka yang bergelar, tapi soal rindu pada mereka yang benar-benar belajar.

Satir dalam tulisan ini bukan untuk menjatuhkan pribadi, melainkan untuk membangunkan nurani. Jika terasa menyakitkan, barangkali karena kita terlalu lama menganggap simbol sebagai kebenaran, dan lupa memeriksa isinya.

Kami percaya, gelar adalah anugerah—jika diiringi tanggung jawab dan keteladanan. Tapi gelar juga bisa menjadi racun, jika hanya dijadikan alat untuk menipu dan menundukkan.

Maka biarlah tulisan ini menjadi pengingat, bukan peluru. Menjadi cermin, bukan cambuk. Karena kami bukan orang besar. Kami hanya rakyat kecil—yang tak punya gelar, tapi masih punya harapan. Dan dari harapan itu, kami menulis. Dengan jujur. Dengan berani.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Evaluasi Anggaran Iklan: Pilih Berdasarkan Data atau Karena Kenal?

Masturbasi: Antara Kebutuhan Biologis dan Batasan Kesehatan – Fakta Ilmiah, Studi Kasus, dan Pandangan Ahli

"The Next Prince": Drama BL Thailand yang Mengguncang Dunia Hiburan