Media Cetak di Ambang Kepunahan: Masihkah Ada yang Membaca Koran?



“Bukan Mati, Tapi Berubah Wujud.”

Saat ini, segalanya serba digital. Kita bangun tidur langsung buka notifikasi, makan sambil scroll feed, tidur pun masih ditemani layar. Semua informasi seolah berlomba untuk jadi yang tercepat, paling sensasional, dan paling mudah viral.

Di tengah gemuruh itu, media cetak tampak seperti relik masa lalu — seperti mesin ketik di pojok kamar, atau radio tua di rak nenek. Pertanyaannya: apakah media cetak sudah mati? Atau justru ia sedang bersiap bereinkarnasi?

Tulisan ini bukan sekadar nostalgia, apalagi sekadar membela industri yang sedang sekarat. Ini adalah upaya untuk membedah secara kritis:

  • Apa yang sebenarnya terjadi pada media cetak?
  • Masihkah ia relevan di tengah dominasi algoritma?
  • Apakah masih ada tempat untuk koran, majalah, atau buku fisik di dunia yang makin digital?
  • Dan yang terpenting: apa yang bisa kita pelajari dan perbaiki agar media cetak tidak punah sia-sia?

Lewat pembahasan mendalam, analisis tren, contoh kasus nyata, hingga gagasan out of the box, tulisan ini ingin mengajak pembaca berpikir ulang — bukan untuk menolak teknologi, tapi untuk menakar kembali apa arti media, makna membaca, dan pentingnya ruang hening dalam lautan notifikasi.

Jadi… sebelum buru-buru menekan tombol “close tab” karena judulnya tidak clickbait, beri tulisan ini satu kesempatan. Karena bisa jadi, yang kamu anggap usang justru punya masa depan yang lebih relevan dari yang kamu kira.



BAB 1: Media Cetak di Era Digital – Sebuah Pembuka Mata

Pada suatu pagi yang tenang di sudut kota, seorang pria tua membuka halaman koran sembari menyeruput kopi hangat. Bunyi khas dari lembaran kertas yang dibaliknya seolah menjadi nostalgia yang kian langka di tengah dentingan notifikasi gawai. Di era di mana informasi melesat secepat kilat dan semua orang bisa menjadi “wartawan instan” dari balik layar ponsel, pertanyaan besarnya adalah: Apakah media cetak masih relevan?

Media cetak memang tak lagi menjadi pilihan utama generasi muda yang tumbuh dengan internet dalam genggaman. Tapi apakah ini berarti kematiannya? Atau justru ini momen metamorfosis?

Dari Jantung Sejarah ke Rintihan Modernisasi

Sejak ditemukannya mesin cetak oleh Johannes Gutenberg di abad ke-15, dunia mengalami revolusi informasi. Surat kabar menjadi simbol peradaban, pendidikan, dan bahkan kekuasaan. Namun kini, sejarah panjang itu seperti diringkas hanya dalam satu kalimat menyakitkan: “Koran? Siapa yang masih baca?”

Data dari WAN-IFRA (World Association of Newspapers and News Publishers) menunjukkan penurunan tajam oplah surat kabar global dalam dua dekade terakhir. Di Indonesia, menurut Dewan Pers, tiras media cetak turun hingga lebih dari 60% sejak tahun 2010. Tetapi jangan salah, penurunan ini bukan tanda akhir, melainkan lonceng peringatan untuk beradaptasi.

Era Disrupsi: Musuh atau Momentum?

Kedatangan era digital bukan sekadar tantangan, tapi juga ujian eksistensi. Ketika algoritma media sosial mengatur apa yang kita lihat, media cetak harus bekerja lebih keras—bukan hanya sekadar menyajikan berita, tetapi membangun kredibilitas yang tidak bisa diberikan oleh komentar netizen atau akun anonim.

Namun, di tengah tsunami digital, muncul media cetak yang justru memilih bertahan. Majalah Tempo, misalnya, masih eksis dengan format cetak dan dikenal dengan laporan mendalamnya. Kompas juga tak hanya menyebar via website, tapi tetap mencetak edisi fisik yang diburu kalangan tertentu. Ini bukan semata romantisme, tapi strategi untuk tetap relevan di ruang yang berbeda.

Psikologi Pembaca: Kertas yang Tak Tergantikan?

Sebuah studi oleh The Journal of Research in Reading mengungkap bahwa membaca berita atau tulisan panjang di media cetak memiliki dampak kognitif yang berbeda dibanding membaca via layar. Konsentrasi pembaca lebih terjaga, retensi informasi lebih tinggi, dan empati terhadap narasi lebih dalam. Media cetak, dalam konteks ini, bukan hanya alat informasi—ia adalah medium refleksi.

Di Jepang, meski terkenal dengan teknologi canggih, koran-koran seperti Yomiuri Shimbun dan Asahi Shimbun masih mencetak jutaan eksemplar per hari. Mengapa? Karena budaya membaca di atas kertas menjadi kebiasaan yang masih dihargai.

Revolusi atau Evolusi?

Media cetak tidak akan “mati” dalam arti literal. Yang mati adalah cara lamanya—yang stagnan, yang tak mampu beradaptasi. Mereka yang bisa bertransformasi menjadi media hybrid, menggabungkan kekuatan konten cetak dengan digital, justru akan membuka pasar baru. Bahkan di Eropa, tren premium print mulai tumbuh, di mana koran edisi cetak dikemas eksklusif, dengan desain mewah dan isi mendalam, menyasar pembaca yang jenuh dengan dunia digital yang serba instan.


BAB 2: Kenapa Banyak yang Bilang Media Cetak Sudah Mati?


Kita hidup di zaman yang suka berpikir pendek. Cepat viral, cepat lupa. Cepat trending, cepat basi. Maka ketika angka oplah koran menurun drastis, banyak yang buru-buru mengucapkan: “Media cetak sudah mati.” Tapi benarkah begitu? Atau ini cuma stigma yang dilahirkan dari obsesi dunia akan kecepatan dan sensasi?


Kemajuan atau Kecanduan?


Internet memberi kita akses tak terbatas ke informasi. Tapi di balik kemewahan itu, muncul budaya baca yang dangkal. Scroll cepat, baca judul doang, lalu komen. Media online berkembang dengan klik sebagai mata uangnya. Judul bombastis, isi seadanya. Cepat tayang, akurasi belakangan. Inilah disrupsi yang menjatuhkan media cetak—bukan karena cetaknya usang, tapi karena budaya literasi masyarakat ikut bergeser.


Survei dari Reuters Institute tahun 2023 menunjukkan bahwa 63% responden di bawah usia 35 tahun lebih memilih mendapatkan berita dari media sosial dibandingkan situs berita resmi, apalagi koran. Kenapa? Praktis. Hemat kuota. Tapi kualitas? Jadi nomor sekian.


Masalahnya Bukan Media Cetaknya, Tapi Model Bisnisnya


Media cetak dulu hidup dari iklan—iklan baris, advertorial, spot halaman belakang. Tapi sejak Google dan Facebook merajai dunia periklanan digital, hampir 70% belanja iklan global pindah ke dua raksasa itu. Media cetak pun megap-megap. Pendapatan anjlok, biaya produksi tetap tinggi. Akhirnya satu demi satu tutup buku.

Beberapa tak sanggup beradaptasi. Ada yang mati karena terlalu keras mempertahankan cara lama. Ada juga yang mati pelan-pelan karena setengah hati masuk ke dunia digital, masih kaku dengan pola pikir “asal cetak”.


Citra Kuno dan Kurangnya Regenerasi


Media cetak juga punya masalah branding. Di mata Gen Z dan sebagian milenial, koran dan majalah dianggap barang jadul. “Bapakku aja udah gak baca koran,” begitu komentar yang sering muncul di riset pasar. Desain yang kaku, layout yang terlalu padat, dan gaya bahasa yang terkesan formal membuat media cetak seperti berbicara dengan cara yang tidak lagi nyambung dengan pembaca muda.


Ditambah lagi, regenerasi jurnalis cetak juga terhambat. Banyak jurnalis muda lebih tertarik menjadi content creator, YouTuber, atau podcaster. Profesi jurnalis cetak dianggap tidak fleksibel, gajinya kecil, dan masa depannya tidak secerah profesi digital. Maka lahirlah media yang tua—bukan hanya secara fisik, tapi juga secara semangat.


Namun… Apakah Benar-benar Mati?


Ini bagian menariknya. Saat semua orang bilang media cetak akan mati, faktanya di beberapa negara justru ada kebangkitan kecil-kecilan.


Di Jepang, surat kabar masih memiliki sirkulasi tinggi dan dianggap sumber berita yang kredibel, terutama untuk kalangan tua dan profesional.


Di Jerman, majalah seperti Der Spiegel tetap eksis bahkan membuka langganan digital-cetak secara hybrid.

Di Indonesia, beberapa media lokal yang kuat secara komunitas—seperti media kampus, tabloid pesantren, atau koran daerah—masih eksis karena mereka relevan secara kontekstual.

Artinya, bukan cetaknya yang mati, tapi relevansi kontennya yang harus dihidupkan kembali.


Perspektif Ahli:

Prof. Jeff Jarvis, pengamat media dari City University of New York, menyebut bahwa yang perlu diubah bukan medianya, tapi fungsi medianya dalam masyarakat. Media cetak tidak boleh hanya menjadi penyampai berita, tapi juga penjaga nilai, identitas lokal, dan sejarah kolektif. Ia menulis dalam esainya di The Guardian bahwa “print can survive not by chasing clicks, but by preserving trust.”


Di Indonesia, Dhyta Caturani—aktivis media dan literasi digital—menekankan pentingnya revitalisasi jurnalisme cetak sebagai ruang alternatif di tengah arus informasi yang makin dangkal. “Bukan untuk menyaingi digital, tapi mengisi ruang yang tidak bisa diberikan digital: kedalaman,” ujarnya dalam diskusi publik 2024 lalu.


Jadi apakah media cetak sudah mati? Jawaban sederhananya: belum tentu. Yang mati adalah model bisnis lama, cara pandang usang, dan ketidakmampuan beradaptasi. Tapi sebagai ruang berpikir, alat dokumentasi sejarah, dan media membentuk opini publik yang mendalam—media cetak masih punya tempat, jika dia tahu harus ada di mana.


Bab 3: Apa yang Harus Dilakukan Media Cetak agar Relevan di Era Digital?

1. Jangan Bertarung di Medan yang Salah

Pertama-tama, media cetak tidak harus jadi media digital. Bukan berarti tidak boleh punya versi online, tapi jangan berusaha meniru 100% gaya dan cara main media digital. Media digital hidup dari kecepatan, sensasi, dan algoritma. Media cetak bisa hidup dari kedalaman, akurasi, dan kepercayaan.

Kuncinya? Temukan peran yang tidak bisa digantikan oleh platform digital. Contohnya:

  • Investigasi lokal yang mendalam
  • Cerita komunitas yang tidak menarik secara viral, tapi penting secara sosial
  • Dokumentasi sejarah daerah, tokoh, budaya, dan kearifan lokal

Digital boleh cepat dan luas, tapi media cetak bisa akurat dan membumi.

2. Kolaborasi Bukan Kompetisi

Era sekarang bukan soal siapa paling cepat. Tapi siapa paling kolaboratif. Media cetak bisa membentuk ekosistem dengan:

  • Komunitas lokal (sekolah, kampus, UKM, organisasi masyarakat)
  • Influencer lokal yang punya perhatian di komunitasnya
  • Kreator konten untuk menjembatani distribusi digital
  • Pemerintah dan LSM dalam kampanye literasi, pendidikan, hingga advokasi lingkungan

Bayangkan: koran daerah bekerjasama dengan komunitas lingkungan untuk membuat laporan mendalam tentang sungai yang tercemar. Cetakannya terbit, digitalnya disebarkan, dan dampaknya terasa di dunia nyata. Ini bukan hanya bertahan, tapi berevolusi.

3. Inovasi Model Bisnis

Banyak media cetak bangkrut bukan karena tak ada pembaca, tapi karena model bisnisnya stuck di zaman dulu. Iklan halaman penuh? Sudah basi. Maka perlu:

  • Langganan komunitas: bukan berapa eksemplar, tapi berapa komunitas yang merasa koran itu mewakili mereka
  • Cetak sesuai event: cetakan khusus saat festival, kelulusan, ulang tahun daerah, perayaan adat
  • Edisi terbatas dan koleksi: seperti majalah fotografi, edisi sejarah, atau special edition peristiwa tertentu
  • Jasa konten dan brand: media cetak bisa jadi creative agency bagi komunitas dan pelaku UMKM

Ini bukan hanya cetak berita, tapi menjual nilai dan pengalaman.

4. Integrasi dengan Teknologi (Tanpa Kehilangan Jiwa)

  • QR Code di artikel yang mengarah ke video atau podcast
  • Augmented Reality (AR) untuk halaman interaktif
  • AI untuk editing dan tata letak lebih cepat
  • NFC atau tap card langganan di event komunitas

Tapi ingat, teknologi hanyalah alat. Jangan sampai koran jadi canggih tapi kehilangan ruh jurnalisme.

5. Konten: “Bikin Pembaca Berpikir”

Media digital sering bikin pembaca marah dan impulsif. Nah, ini kesempatan media cetak untuk membuat pembaca berpikir dan merenung.

Tulislah dengan gaya naratif, gaya bertutur. Jangan kejar clickbait. Kejar trustbait. Berita boleh usang, tapi maknanya jangan.

6. Sentuhan Personal dan Lokal

Di era konten generatif AI, pembaca justru makin rindu konten yang terasa manusiawi. Ada typo sedikit? Tak masalah, asal ada rasa. Ada cerita personal dari wartawan? Tambahkan, itu bikin pembaca merasa dekat. Cetaklah bukan untuk semua orang, tapi untuk segmen yang kamu benar-benar pahami.

Pendapat Pakar

Dr. Rasmus Kleis Nielsen dari Reuters Institute for the Study of Journalism menyebut bahwa media cetak harus memosisikan diri sebagai "slow media": melawan kecepatan dan noise dengan kualitas dan refleksi. Menurutnya, masa depan bukan soal “mati atau hidup”, tapi soal “menemukan kembali arti kehadirannya”.

Senada, jurnalis dan pakar komunikasi senior Indonesia, Andreas Harsono, pernah menulis: "Media cetak yang jujur, berani, dan berakar di masyarakat, tak akan pernah mati. Ia mungkin diam, tapi daya tusuknya jauh lebih dalam.”

Media cetak tidak sedang menuju kuburan. Mereka hanya perlu pindah jalur. Bukan lagi jadi kendaraan utama berita, tapi jadi kendaraan pemikiran dan budaya. Jika tahu di mana harus berdiri, media cetak bisa menjadi batu karang di tengah badai digitalisasi.



Oke! Kita lanjut ke:

Bab 4: Studi Kasus Media Cetak yang Bertahan dan Bangkit di Tengah Digitalisasi

Di tengah gempuran media digital, masih ada media cetak yang bukan hanya bertahan, tapi juga tumbuh kuat. Mereka bukan kebetulan beruntung — tapi hasil dari strategi yang tajam, keberanian berinovasi, dan pemahaman mendalam tentang audiens. Berikut ini beberapa studi kasus yang menggambarkan hal tersebut:


1. The New York Times (AS): Digitalisasi Bukan Berarti Bunuh Diri Cetak

The New York Times (NYT) adalah contoh paling ikonik. Meskipun bertransformasi secara digital, mereka tidak pernah membunuh edisi cetaknya. Justru mereka memposisikan versi cetak sebagai produk premium — untuk pembaca yang menginginkan waktu membaca yang "terkurasi", pelan, dan reflektif.

Strategi:

  • Memperkuat jurnalisme investigatif dan cerita panjang (long-form)
  • Memakai langganan digital sebagai sumber utama pendapatan, bukan iklan
  • Tetap mempertahankan cetak edisi Minggu (Sunday edition) yang dianggap "suci" oleh pembacanya

Hasil:
Per 2023, NYT memiliki lebih dari 9 juta pelanggan digital, tapi edisi cetaknya tetap hidup — dan bahkan meningkat nilai prestisenya.


2. Kompas (Indonesia): Integrasi Cerdas dan Respect pada Tradisi

Kompas termasuk yang cerdik di Indonesia. Mereka tidak buru-buru meninggalkan versi cetak, tapi menyempurnakannya secara perlahan.

Strategi:

  • Membangun Kompas.id sebagai kanal digital premium
  • Menyajikan versi cetak dengan fitur-fitur khas yang tidak tersedia online
  • Meningkatkan kualitas visual dan reportase mendalam di cetak
  • Membuat edisi khusus untuk event atau isu penting

Hasil:
Langganan digital naik, tapi langganan cetak juga tetap bertahan di kalangan korporat, instansi, dan pembaca setia yang lebih senior.


3. Jawa Pos (Regional Indonesia): Adaptasi Lokal + Distribusi Pintar

Jawa Pos tetap populer karena menguasai jalur distribusi cetak lokal yang kuat — dari agen koran, warung, sampai komunitas.

Strategi:

  • Menyebarkan koran pagi hari ke lapisan masyarakat terbawah
  • Membuat rubrik lokal yang sangat relevan untuk warga setempat
  • Mengintegrasikan berita digital dengan strategi marketing lokal (misal: kupon belanja, undian, dsb)
  • Edisi cetak dibuat khusus saat hari-hari besar lokal

Hasil:
Tetap relevan di daerahnya dan bahkan mampu jadi alat advokasi sosial.


4. Majalah Tempo: Cetak adalah Produk Premium

Meskipun banyak kontennya sudah digital, Tempo tetap mencetak edisi mingguan — dan menjualnya seperti barang koleksi.

Strategi:

  • Layout premium, khas investigatif
  • Cover edisi tertentu jadi barang koleksi (misal: edisi 98, korupsi besar, tokoh tahun)
  • Kolaborasi dengan ilustrator dan seniman untuk cover
  • Menjual cetakan sebagai dokumentasi sejarah Indonesia modern

Hasil:
Walaupun digital mendominasi, edisi cetak tetap dicari oleh kalangan intelektual, peneliti, dan aktivis.


5. Suara Merdeka (Jateng): Komunitas Sebagai Jantung Media Cetak

Media ini menempatkan komunitas sebagai poros. Mereka tidak jualan berita, mereka jualan koneksi emosional.

Strategi:

  • Mengangkat kegiatan komunitas, tokoh lokal, dan cerita warga biasa
  • Kolaborasi dengan sekolah, UMKM, hingga pesantren
  • Menyediakan ruang ekspresi seperti lomba menulis, karya siswa, ucapan komunitas
  • Menyediakan paket promosi UMKM lewat cetak-digital (low budget)



Hasil:
Media tetap jadi kebanggaan daerah. Bahkan dianggap sebagai “bagian dari hidup” masyarakat lokal.

Yang bertahan bukan yang paling besar. Tapi yang paling relevan. Media cetak yang sukses:

  • Tidak ikut-ikutan panik
  • Tahu siapa pembacanya
  • Mau berinovasi, tapi tidak kehilangan jati diri
  • Menjadikan cetak bukan sekadar alat penyampai berita, tapi simbol prestise, refleksi, dan komunitas

Seperti pepatah lama:

"Kertas itu bisa dibakar, tapi maknanya bisa menyalakan zaman."


Kita lanjut bab akhir...

Bab 5: Masa Depan Media Cetak — Narasi Ulang, Bukan Sekadar Nostalgia

Media cetak bukan barang usang. Ia bukan peninggalan zaman yang sebentar lagi dikubur sejarah. Justru, ia adalah artefak hidup yang bisa berkembang — jika dipahami dan diolah dengan cara baru. Masa depan media cetak bukan diulang, tapi dinarasikan ulang.


1. Media Cetak = Experience

Di era digital, semuanya cepat dan instan. Tapi justru karena itu, banyak orang mencari “pengalaman” yang lebih lambat dan terasa nyata.

Membaca koran atau majalah cetak kini bukan cuma soal membaca — tapi soal ritual.
Duduk santai, membalik halaman, mencium aroma tinta — itu semua adalah bentuk detoks digital.

Contoh nyata:

  • Banyak café dan coworking space kini menyediakan majalah cetak sebagai “mood enhancer.”
  • Buku cetak kembali populer meski ada e-book karena memberi sensasi fisik yang lebih personal.

2. Cetak = Premium + Koleksi

Cetak bisa dijual bukan sebagai informasi, tapi sebagai barang seni.
Visual layout, kualitas kertas, dan desain sampul bisa membuat media cetak jadi collectible — seperti vinyl bagi dunia musik.

Contoh:

  • Tempo, NatGeo, Monocle, bahkan koran-koran luar seperti Financial Times punya edisi cetak eksklusif.
  • Beberapa startup media membuat “print-only issue” yang hanya bisa didapat pelanggan loyal — dengan nomor edisi khusus.

3. Media Cetak = Arsip Sejarah dan Identitas

Tak semua konten digital bisa dipercaya. Tapi cetak? Ada proses editorial dan seleksi ketat. Itulah sebabnya, banyak orang dan institusi masih percaya pada cetak sebagai rujukan utama.

Koran lokal adalah saksi sejarah komunitas.
Majalah budaya adalah penjaga identitas bangsa.

Jika media cetak mati, kita akan kehilangan "jejak sejarah" yang otentik — bukan hasil algoritma.


4. Sinergi, Bukan Persaingan: Digital & Cetak Bisa Bersahabat

Digital bukan musuh cetak. Keduanya bisa bersinergi. Cetak bisa menjadi produk akhir dari proses digitalisasi.

Strategi:

  • Gunakan konten digital untuk uji pasar
  • Sajikan versi cetak sebagai “highlight” atau edisi istimewa
  • Gunakan cetak sebagai souvenir dari event, kampanye, atau kegiatan komunitas

Bonus Insight: Koran-koran kampus dan komunitas mulai naik lagi karena mereka sadar: media cetak membangun rasa memiliki.


5. Kuncinya: Narasi, Bukan Nostalgia

Media cetak yang bertahan adalah yang bisa menjawab:

“Kenapa orang harus membaca ini di kertas, bukan di layar?”

Jawabannya bisa:

  • Karena kertas memberi ruang hening
  • Karena cetak menampilkan kurasi bukan kurasi algoritma
  • Karena manusia butuh meraba sesuatu yang nyata

Cetak adalah “slow media.” Dan di era kecepatan, justru yang lambat bisa jadi lebih menyentuh dan melekat.


Penutup: Cetak Tidak Mati, Ia Sedang Berevolusi

“Buku belum mati. Koran belum usang.
Yang mati hanya cara lama kita memakainya.”

Masa depan media cetak bukan berada di rak, tapi di tangan-tangan orang yang berani menulis ulang maknanya.
Bukan sebagai pesaing digital, tapi sebagai pelengkap yang menghadirkan kedalaman, kekayaan konteks, dan nuansa manusiawi.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Evaluasi Anggaran Iklan: Pilih Berdasarkan Data atau Karena Kenal?

Masturbasi: Antara Kebutuhan Biologis dan Batasan Kesehatan – Fakta Ilmiah, Studi Kasus, dan Pandangan Ahli

"The Next Prince": Drama BL Thailand yang Mengguncang Dunia Hiburan