Menimbang Risiko dan Potensi Worldcoin: Tantangan Identitas Digital di Indonesia

Iming-Iming Uang Gratis: Pandangan Saya tentang Fenomena Worldcoin


"Saya jujur tergelitik saat pertama kali mendengar tentang Worldcoin—sebuah proyek global yang menawarkan kripto gratis hanya dengan memindai iris mata. Sekilas terdengar seperti masa depan yang keren: teknologi canggih, hadiah instan, dan janji inklusi digital untuk semua orang."


Tapi makin saya telusuri, makin banyak pertanyaan yang muncul di kepala. Apa benar ini semata soal hadiah? Apakah kita benar-benar paham konsekuensi dari menyerahkan data biometrik yang tidak bisa diganti seumur hidup? Atau jangan-jangan kita hanya sedang dimanfaatkan dalam proyek besar yang belum tentu kita mengerti tujuannya?

Worldcoin dan aplikasi pendukungnya, World App, digagas oleh Sam Altman (CEO OpenAI) dengan misi membangun identitas digital global melalui pemindaian bola mata (iris). Proyek ini menjanjikan masa depan berbasis identitas terverifikasi dan potensi distribusi Universal Basic Income (UBI) berbasis kripto.

Namun, meski telah diluncurkan di puluhan negara, respon dunia terhadap Worldcoin sangat beragam. Beberapa negara menyambutnya, sementara yang lain—seperti Indonesia—justru menyorotnya dengan penuh curiga. Kenapa bisa begitu?




1. Perbedaan Regulasi Perlindungan Data

Di negara-negara seperti Jerman, Prancis, Inggris, dan Kanada, perlindungan data biometrik diatur ketat oleh regulasi seperti GDPR (General Data Protection Regulation).
Worldcoin diwajibkan:

  • Transparan soal penggunaan data,
  • Memberi opsi untuk menghapus data kapan saja,
  • Menyimpan data dalam bentuk terenkripsi yang diklaim tidak bisa dilacak kembali ke individu.

Sementara di Indonesia, regulasi perlindungan data pribadi (UU PDP) baru disahkan tahun 2022 dan masih dalam tahap implementasi. Banyak masyarakat belum paham hak mereka atas data pribadi—terutama data biometrik yang sangat sensitif. Hal inilah yang memicu kekhawatiran.

2. Literasi Digital yang Belum Merata

Di negara seperti Korea Selatan, Jepang, atau Belanda, masyarakat cenderung:

  • Melek teknologi,
  • Paham risiko & manfaat data digital,
  • Mampu mengambil keputusan berbasis informasi.

Sedangkan di Indonesia, meski pengguna smartphone besar, literasi digital masih rendah. Banyak warga tergiur ikut Worldcoin karena iming-iming hadiah crypto, tanpa benar-benar paham apa yang mereka setujui saat memindai iris mereka.

3. Kecurigaan Terhadap Motif Tersembunyi

Di Indonesia, proyek ini dicurigai sebagai:

  • Alat pengumpulan data rahasia oleh asing,
  • Proyek eksploitasi ekonomi,
  • Bahkan dikaitkan dengan isu spiritual atau konspirasi.

Beberapa tokoh publik dan influencer mengaitkannya dengan "Tanda Akhir Zaman" karena melibatkan pemindaian mata dan pemberian token digital. Meskipun tidak berdasar ilmiah, narasi ini cepat menyebar di media sosial dan memperkuat penolakan.

4. Worldcoin Dianggap Tak Punya Urgensi

Indonesia saat ini tengah menghadapi berbagai isu seperti:

  • Inflasi,
  • PHK massal,
  • Kesenjangan ekonomi,
  • Penetrasi kripto yang masih rendah secara fungsional.

Dalam kondisi ini, Worldcoin dianggap tidak menyelesaikan masalah nyata rakyat, melainkan justru menambah kegelisahan baru. Banyak pihak juga mempertanyakan: untuk apa identitas global kalau kebutuhan dasar belum terpenuhi?

5. Negara Lain Mendapat Manfaat Langsung (Tapi Tetap Diawasi)

Beberapa negara yang menerima Worldcoin:

  • Memberikan izin terbatas, misalnya hanya demo teknis.
  • Melibatkan pihak ketiga untuk audit keamanan.
  • Menerapkan sandbox regulation (uji coba dalam pengawasan).

Contohnya, di Chile, proyek diterima di kampus teknologi dengan syarat tidak menyimpan data secara permanen. Di Kenya, sempat dilarang tapi kini sedang dikaji ulang dengan pendekatan etis.


6. Pandangan Ahli dan Riset Akademik

Menurut MIT Technology Review, proyek Worldcoin berpotensi menimbulkan bias sosial dan diskriminasi jika tidak diatur secara tepat.
Sementara dalam jurnal Nature Machine Intelligence (2023), disebutkan bahwa biometrik identitas berbasis iris sangat rawan penyalahgunaan, terutama jika dikombinasikan dengan AI.

Prof. Bambang Riyanto dari Universitas Indonesia juga menegaskan:

“Data biometrik adalah emas digital masa depan. Sekali diretas atau disalahgunakan, dampaknya bisa seumur hidup.”



Worldcoin mungkin membawa ide besar dan visioner, tapi tidak semua negara siap menerimanya. Indonesia, dengan regulasi yang baru tumbuh dan masyarakat yang beragam tingkat pemahamannya, perlu lebih hati-hati.

Alih-alih tergesa-gesa, pendekatan terbaik adalah:

  • Edukasi publik dulu,
  • Libatkan pakar hukum dan data,
  • Bangun kepercayaan dengan transparansi.

Karena dalam era digital, identitas bukan sekadar angka, tapi kunci masa depan kita.

:


Kenapa Masyarakat Harus Melek Digital?

Di era sekarang, digitalisasi bukan pilihan, tapi keharusan. Semua aspek hidup—dari ekonomi, pendidikan, hingga kesehatan—bergerak ke arah digital. Sayangnya, banyak dari kita masih jadi pengguna pasif: ikut-ikutan tanpa paham risikonya.

Contoh nyatanya?

  • Klik "Setuju" di aplikasi tanpa baca syaratnya.
  • Upload data KTP dan selfie ke aplikasi abal-abal karena iming-iming hadiah.
  • Scan iris mata ke alat asing tanpa tahu akan dipakai untuk apa.

Identitas Digital = Kunci Masa Depan

Identitas digital itu seperti KTP versi online, tapi lebih luas dan lebih berbahaya kalau jatuh ke tangan yang salah.

Bayangin kalau:

  • Data biometrik kamu bocor.
  • Disalahgunakan untuk pinjaman online.
  • Dipakai buat deepfake, kejahatan digital, atau bahkan jual beli data gelap.

Jadi, Apa yang Harus Kita Lakukan?

1. Jangan Asal Serahkan Data
Tanyakan dulu: untuk apa? Siapa yang simpan? Bisa dihapus nggak?

2. Baca Dulu, Baru Setuju
Terms & Conditions itu penting, walau panjang. Cari intinya.

3. Edukasi Orang Sekitar
Jangan biarkan orang tua, anak muda, atau tetangga jadi korban karena gaptek.

4. Dukung Regulasi Perlindungan Data
Kita perlu UU yang melindungi, bukan hanya mengawasi.


Alasan Mengapa Kominfo & Komisi Perlindungan Data (Komdigi) Tepat Membekukan World App di Indonesia


1. Perlindungan Data Warga Negara

World App mengumpulkan data biometrik paling sensitif: pemindaian iris mata. Ini bukan sekadar foto selfie. Jika bocor, data ini tidak bisa diubah seumur hidup. Pemerintah wajib bersikap tegas saat ada potensi pelanggaran privasi.


2. Ketidakjelasan Pengelolaan Data

Belum ada transparansi penuh soal:

Di mana data disimpan?

Apakah data bisa dihapus permanen?

Siapa yang punya akses?


3. Minimnya Edukasi di Masyarakat

Mayoritas masyarakat yang daftar World App hanya tahu: "dapet koin gratis". Tanpa tahu risiko jangka panjang. Ini berbahaya, dan negara punya tanggung jawab untuk melindungi rakyat dari eksploitasi digital.


4. Belum Ada Regulasi Perlindungan Data Pribadi yang Kuat

UU PDP (Perlindungan Data Pribadi) Indonesia baru disahkan, tapi belum diimplementasikan secara menyeluruh. Artinya, belum ada instrumen hukum kuat untuk mengawasi aktivitas World App secara ketat.


Namun, Apa Saja yang Harus Diperhatikan ke Depannya?


1. Potensi Inovasi Dunia Digital

Worldcoin hadir membawa konsep "identitas digital global" dan inklusi keuangan. Bukan berarti harus ditolak mentah-mentah. Tapi...

perlu dikaji dan disesuaikan dengan kultur dan regulasi Indonesia.


2. Kesempatan untuk Menyusun Regulasi yang Adaptif

Kasus ini bisa jadi momentum penting untuk mempercepat penerapan UU PDP, SOP audit digital asing, dan edukasi literasi digital ke publik.



Jadi??? Tepat, Tapi Jangan Berhenti di Pembekuan

Iya, pembekuan ini tepat sebagai langkah darurat untuk menghentikan potensi bahaya. Tapi ke depan:

Harus ada audit independen terhadap World App.

Pemerintah wajib mengedukasi masyarakat, bukan hanya melarang.

Teknologi seperti ini harus dikaji secara adil dan transparan.


Dunia Digital Itu Keren, Tapi Harus Bijak

Worldcoin hanyalah satu contoh dari banyak proyek digital global. Bukan soal anti-teknologi, tapi soal kesadaran dan kesiapan.
Karena masa depan ada di tangan mereka yang paham teknologi, bukan cuma yang menggunakannya.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Evaluasi Anggaran Iklan: Pilih Berdasarkan Data atau Karena Kenal?

Masturbasi: Antara Kebutuhan Biologis dan Batasan Kesehatan – Fakta Ilmiah, Studi Kasus, dan Pandangan Ahli

"The Next Prince": Drama BL Thailand yang Mengguncang Dunia Hiburan