Lagu 90-an vs 2020-an: Dulu Musik, Sekarang Algoritma gampang Dilupakan.



Ingat saat dengerin My Heart Will Go On bikin satu kampung mendadak mellow? Atau saat Bohemian Rhapsody diputar, semua ikut nyanyi walau nggak ngerti liriknya?
Bandingkan dengan hari ini, di mana lagu viral adalah suara cewek bilang “I’m done with men” dipadu beat 8 detik. Patah hati zaman sekarang udah bukan soal air mata, tapi soal apakah bisa jadi sound TikTok atau nggak.

Yuk, kita bedah: musik 90-an vs musik 2020-an. Bukan cuma di Indonesia, tapi juga di level global.


🎙️ 1. Lirik: Dulu Berisi, Sekarang Bersuara Kosong

90-an:
Lirik lagu ditulis pake otak dan hati. Ambil contoh Tears in Heaven (Eric Clapton), lagu tentang kematian anaknya sendiri. Atau Zombie (The Cranberries), lagu protes perang.
Lokal pun nggak kalah: Bunda (Melly Goeslaw) bisa bikin cowok keras kepala pun netesin air mata di pojokan.

2020-an:
Lirik sekarang?
“I’m a savage / classy, bougie, ratchet.”
“Bitch I’m bad, and boujee.”
Kebanyakan cuma self-obsessed anthem atau curhat toxic relationship dibalut beat. Candu sih, tapi setelah tiga kali denger, udah kayak nasi padang dingin pengen skip.



🎚️ 2. Aransemen Musik: Dulu Berkeringat, Sekarang Seret Preset

90-an:
Musik itu kerja keras. Metallica, Nirvana, Oasis mereka latihan di garasi, rekaman di studio, berkali-kali take. Ada soul, ada noise, dan semuanya manusiawi.

2020-an:
Laptop. Headset. FL Studio. Selesai.
Sound yang sekarang? Tinggal pilih beat dari Soundcloud, rekam lirik pakai mic murah, upload ke Spotify. Kadang bahkan suara kentut dikasih filter bisa masuk ke playlist viral.


🎤 3. Vokal: Dulu Distinct, Sekarang Semua Mirip

90-an:
Kamu tahu suara siapa begitu denger. Celine Dion? Powerful. Kurt Cobain? Mentah dan liar. Boyz II Men? Lumer.
Lokal? Vina Panduwinata, Nike Ardilla, Iwan Falsmasing-masing punya karakter kuat.

2020-an:
Suara semua lembut, mendayu, dikasih reverb segentong. Cowok, cewek, non-binary, semua nyanyi kayak habis nangis semalam. Mau nyebut satu penyanyi pun kadang susah. Karena semua... ya... mirip.



🌐 4. Industri: Dulu Label, Sekarang Algoritma

90-an:
Mau masuk industri musik? Harus audisi, harus punya talenta. Label gede kayak Sony atau Warner ngatur siapa naik siapa tenggelam. Ribet, tapi kualitas terjaga.

2020-an:
Lagu viral karena dipakai joget sama seleb TikTok 14 tahun yang punya 8 juta followers. Yang penting engagement, bukan bakat. Kalau algoritma suka, kamu naik. Kalau nggak? Ya bikin challenge baru.


🧠 5. Efek ke Pendengar: Dulu Bikin Pikir, Sekarang Bikin Scroll

90-an:
Lagu bisa bikin kamu mikir hidup. Imagine (John Lennon) ngajak mikir soal dunia tanpa perang.
Lagu sekarang? Paling banter bikin kamu buka playlist “Sad Vibes” dan lanjut main Instagram sambil pura-pura galau.



🔥 Musik Sekarang Keren, Tapi Apakah Akan Diingat?

Kita nggak bilang lagu sekarang jelek. Banyak juga yang bagus. Tapi mari jujur, berapa lagu dari era 2020-an yang akan kamu dengar 20 tahun ke depan?
Apakah driver's license akan punya pengaruh sebesar I Will Always Love You?
Apakah As It Was akan dikenang seperti Smells Like Teen Spirit?

Kita lihat nanti.

Komentar bebas, tapi jangan bilang musik sekarang lebih bagus cuma karena "bisa didenger sambil ngopi". Musik bukan wallpaper suara. Dulu, musik itu pengalaman. Sekarang? Seringkali cuma konten.

Poin yang sangat tajam. Dan justru itu yang sekarang lagi kejadian di dunia musik global. Banyak musisi zaman now udah mulai sadar: musik modern itu keren secara teknis, tapi kosong secara emosional. Akhirnya apa? Mereka balik ke roots, ke gaya lama yang lebih manusiawi, lebih jujur, dan lebih berasa "berjiwa".


🔁 Comeback-nya Gaya Lama: Karena Jiwa Itu Nggak Bisa Didownload

Musik sekarang makin canggih. Tapi lucunya? Justru makin banyak musisi muda balik ke style lama.
Kenapa? Karena mereka sadar auto-tune nggak bisa bikin orang nangis, dan beat instan nggak bisa nyentuh hati.

Lihat aja:

  • Bruno Mars & Anderson .Paak dengan Silk Sonic: musiknya kayak keluar dari tahun 70-an. Dan sukses besar.
  • Taylor Swift rilis ulang album lamanya dengan aransemen minimalis dan storytelling kuat.
  • Di Indonesia, banyak juga yang mulai "unplugged" lagi, akustikan, atau main di live session kecil yang vibe-nya 90-an banget.

Bahkan beberapa produser hip-hop dan EDM mulai masukkan instrumen analog dan vokal raw ke dalam musik mereka. Bukan karena mereka nggak bisa digital, tapi karena yang digital aja nggak cukup bikin orang bertahan lebih dari 15 detik.


⚡ Penutup yang Nggak Manis-Manis Amat

Kita hidup di era musik cepat saji. Enak di awal, tapi bikin cepat lapar.
Tapi manusia tetap butuh sesuatu yang bisa ngena ke jiwa. Sesuatu yang bikin kita bilang,
“Lagu ini... kayak tahu isi hati gue.”

Dan itulah kenapa gaya lama nggak pernah benar-benar mati. Karena selera boleh berubah,
tapi kejujuran dalam musik?
Itu abadi.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Evaluasi Anggaran Iklan: Pilih Berdasarkan Data atau Karena Kenal?

Masturbasi: Antara Kebutuhan Biologis dan Batasan Kesehatan – Fakta Ilmiah, Studi Kasus, dan Pandangan Ahli

"The Next Prince": Drama BL Thailand yang Mengguncang Dunia Hiburan